- Back to Home »
- Misteri Pulau Sabira, Pulau Terpencil di utara Jakarta
Kepulauan Seribu adalah gugusan pulau yang paling jadi
favorit wisatawan Jakarta dan sekitarnya. Di antaranya banyak pulau di sana,
ada satu yang paling cantik, masih perawan dan berada di paling utara: Pulau
Sabira.
Pulau Sabira
atau yang juga disebut Pulau Sebira berada pada kordinat 05°12′18.5″S
106°27′39.4″E adalah pulau paling utara di Kabupaten Kepulauan Seribu,
makanya kerap disebut sebagai “Pulau Penjaga Utara”. Pulau ini tepatnya
berada di Kelurahan P. Harapan, Kecamatan P. Seribu Utara, Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta.
Berada paling jauh dari garis pantai Jakarta inilah yang
membuatnya jarang dikunjugi wisatawan. Hasilnya, jadilah Pulau Sabira masih
‘perawan’ sampai saat ini. Walau terlihat keindahan alamnya masih perawan
karena jarang sekali ada wisatawan, namun disana sudah ada penduduknya yang
berjumlah 1.000 warga.
Warga Pulau Sabira terkenal jago membuat ikan asin dan
memang terkenal enak. Biasanya, nanti ikan asin itu akan dibawa warga Pulau
Sabira ke Jakarta untuk dijual setiap seminggu sekali. Sebab kapal dari Pulau
Sabira ke Pelabuhan Kamal Muara di Kecamatan Kamalmuara, Jakarta Utara, cuma
beroperasi seminggu sekali.
Semua itu berlaku karena pulau ini adalah pulau paling jauh
dari daratan Jakarta. Dari Pelabuhan di Kamal Muara, Pulau Sabira berjarak enam
jam perjalanan. Dari Pulau Harapan sekitar tiga jam. Bahkan letak pulau ini
lebih dekat ke Lampung, hanya satu jam perjalanan saja.
Di Pulau Sabira,
Awalnya Hanya Boleh Dirikan Tenda
Pada masa penjajahan Belanda, biasa menyebut pulau seksi dan
cantik tersebut sebagai Noord Watcher yang memiliki arti ‘Penjaga Utara’.
Selain itu, pulau yang memiliki luas sekitar 9,5 hektar ini juga mempunyai
menara mercusuar setinggi 42 meter yang masih berdiri tegak sejak peninggalan
kolonial Belanda yang membangunnya pada tahun 1869 di masa pemerintahan Raja
Willem III.
Mercusuar ini difungsikan sebagai tempat pengawas kapal
asing yang hendak berlabuh. Keindahan alam dan banyaknya jenis ikan di
perairannya menjadi alasan nelayan mulai mendatangi sdan kemudian bermukim di
pulau tersebut.
Awalnya ada seorang nelayan bernama Joharmansyah, melaut di
perairan Pulau Sabira. Joha biasa dirinya disapa, ketika itu melihat banyaknya
potensi di pulau yang terletak di ujung utara Kepulauan Seribu ini.
Pada tahun 1974, warga Pulau Genteng yang pertama datang ke
Pulau Sabira. Tapi nelayan dari Pulau Genteng hanya mencari ikan, setelah
mendapat hasil tangkapan, lalu pulang. Waktu dulu di Pulau Sabira, hanya ada
hutan dan mercusuar dan tidak mudah nelayan diperbolehkan untuk bermukim di
Pulau Sabira.
Namun perjuangan seorang nelayan bernama Joharmansyah
ini tak pantang lelah, dibarengi dengan niat baik dan tekad yang besar
membuahkan hasil. Awalnya harus menyetorkan hasil tangkapan ikannya sebanyak 1
kwintal yang 10 kilogram di antaranya diberikan kepada petugas navigasi menara
mercusuar.
Pada tahun 1975, perlahan-lahan mereka memilih meninggalkan
Pulau Genteng besar akibat adanya desakan dari pemerintah Kepulauan Seribu
untuk meninggalkan pulau tersebut dan pindah di Pulau Sabira pada tahun 1975
dan bermukim di sini.
Untuk membuat rumah memang tidak diperbolehkan, jadi nelayan
hanya sekedar membuat tenda. Akhirnya pelan-pelan nelayan bisa membuka
lahan di sini dan membuat rumah yang sebelumnya tidak diperbolehkan oleh
petugas navigasi.
Awal penduduk di Pulau Sabira hanya berjumlah 22 jiwa yang
sebelumnya merupakan warga Pulau Genteng Besar. Sebenarnya, penduduk di Pulau
Genteng Besar diberikan ganti rugi untuk berpindah ke Pulau Pemagaran pada
tahun 1975 itu. Namun mereka menolak dan lebih memilih untuk pindah ke Pulau
Kelapa Dua dan Pulau Sabira.
Jadi para nelayan terbagi dua. Ada yang ke Pulau Kelapa Dua,
dan ada yang ke Pulau Sabira. Sebelumnya kita diberi pulau yaitu Pulau
Pemagaran pada tahun 1975 tapi warga tak ada yang mau, menurut warga di situ
kurang bagus dan tidak ada potensi besar untuk kehidupan karena tidak adanya
ikan, sehingga mereka tidak ada tangkapan sehari-hari, oleh sebab itulah
akhirnya para nelayan pindah ke Pulau Sabira.
Sekitar tahun 1984 Pemerintah Bandar Lampung pernah datang
ke sini dan menawarkan untuk berpindah kependudukan dari DKI Jakarta menjadi
penduduk Bandar Lampung. Bupati, Kapolres, Danramil Lampung sudah datang
kesana, tapi warga tetap tak mau karena hasil tangkapan mereka dijual ke Muara
Angke dan Kamal Muara di Jakarta, selain itu mereka juga sudah memiliki
KTP DKI Jakarta.
Kini, seluruh penduduk Pulau Sabira berprofesi sebagai
nelayan dan usaha pengasinan ikan (ikan asin). Pulau tersebut memiliki jumlah
penduduk 523 jiwa yang kebanyakan dari mereka berasal dari Bugis, Sulawesi
Selatan. Namun, kehidupan penduduk di Pulau Sabira tidak tertinggal jauh dari
penduduk yang berada di daratan. Walaupun jauh dari daratan, kehidupan di sana
sangat erat dan dipimpin oleh satu Ketua Rukun Warga (RW) dan 4 Rukun Tetangga. (sumber : indocropcircles)